Selain itu, rendahnya literasi keuangan digital, terbatasnya pemahaman terhadap pinjol, dan tidak melakukan pengecekan legalitas membuat masyarakat terjebak yang berakhir sebagai korban.
"Juga, adanya kebutuhan mendesak lantaran kesulitan keuangan masyarakat tidak mengecek dan buru-buru mengajukan pinjaman online," imbuhnya.
Anggota Komisi I DPR Sukamta menyebutkan ada tiga aspek masalah yang menjadi penyebab maraknya kasus pinjol ilegal. Pertama, adalah aspek adanya kebutuhan dari masyarakat terhadap pinjaman. Keperluan di sini beragam, antara yang memang benar-benar kepepet karena terdampak pandemi dan ada pula yang perlu karena sifat konsumtif.
Mereka yang ditolak pengajuannya oleh pinjol legal atau bank resmi yang memiliki persyaratan ketat tergiur oleh Pinjol ilegal yang menawarkan kemudahan dalam mengajukan pinjaman. "Karenanya, masyarakat harus mengerem diri untuk mengurangi konsumsi yang tidak perlu. Ini literasi keuangan," jelas Sukamta dalam keterangan tertulis kemarin.
Edukasi kepada masyarakat selama ini sudah berjalan, di antaranya lewat program Kemkominfo, tetapi perlu semakin digalakkan. Kedua, aspek kemajuan teknologi finansial (fintech) yang memungkinkan transaksi keuangan secara elektronik. Calon nasabah mengajukan pinjaman secara online dengan syarat-syarat administrasi, di antaranya melalui akses verifikasi data di Dukcapil dan verifikasi menggunakan CAMILAN (camera, microphone, location).
Ketiga, aspek regulasi. OJK membolehkan akses IMEI karena mempertimbangkan risiko jika akses data oleh pinjol hanya dilakukan melalui CAMILAN. Dengan akses IMEI, potensi utang ganda seperti ini bisa dihindari. Masalahnya, akses IMEI ini bisa melihat semua isi dari ponsel. Hal inilah yang digunakan pinjol untuk mengancam nasabah yang telat atau gagal bayar cicilan.
Dari tiga aspek tersebut, Sukamta menekankan soal regulasi dan kebijakan yang merupakan persoalan hulu. Sejauh ini, kasus kejahatan terkait pinjol ilegal ini bisa dihukum menggunakan UU ITE. Namun, perlu disempurnakan dalam aspek pelindungan data pribadi. Wakil Ketua Fraksi PKS ini pun terus mendorong RUU Pelindungan Data Pribadi agar segera diselesaikan dan disahkan.
Dia juga mendorong kebijakan OJK yang memberi akses IMEI kepada pinjol dihapus saja. Verifikasi data yang terintegrasi dengan data Dukcapil ditambah Sistem Layanan Informasi Keuangan milik OJK harusnya sudah cukup.
"Jika persoalan hulu ini selesai, semoga persoalan di hilir akan lebih mudah diatasi," tegas Sukamta.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan B Najamudin ikut menyoroti kasus pinjol. Dia mendorong pemerintah agar menyiapkan sistem keuangan mikro yang khusus menata dan mengatur lalu lintas transaksi keuangan pinjol yang kini mencapai Rp260 triliun. Puluhan juta orang terlibat dalam pinjol. Menurut dia, hal itu merupakan market share yang sangat fenomenal untuk lembaga keuangan mikro virtual seperti pinjol.
"Distrupsi kapital itu harus dimaknai sebagai mekanisme keuangan kontemporer yang harus ditata dan dikontrol oleh negara secara detail," ungkap Sultan.
Menurutnya, di tengah situasi ekonomi nasional yang masih tetatih akibat pandemi Covid-19, pinjol menjadi tempat pelarian masyarakat yang sedang terdesak oleh keperluan hidupnya. Bisa jadi, kata dia, tanpa disadari pinjol telah berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional selama ini.
Namun, sayangnya potensi pasar keuangan mikro yang besar itu ternyata banyak dikotori oleh motif lembaga pinjol yang serakah dan seringkali mendestruksi psikologi sosial masyarakat, dengan interest yang tinggi dan pola teror penagihan utang.
"Bahkan bisa menyebabkan peminjam bunuh diri," ucap Sultan.
Tentu itu sangat tragis dan memprihatinkan. Oleh karena itu, sangat penting bagi lemerintah melalui BI, OJK dan kementerian terkait untuk segera mengakomodir kepentingan lembaga-lembaga keuangan mikro virtual dengan payung hukum dan seperangkat sistem keuangan yang lebih ramah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sulit rasanya menertibkan aktivitas ekonomi virtual yang sudah kadung menjamur di tengah masyarakat dengan pendekatan penegakan hukum dalam jangka panjang, karena semuanya dilangsungkan atas sukarela masyarakat. Sultan mengatakan, sebagian besar masyarakat memanfaatkan utang pinjol digunakan untuk konsumsi.
"Itu menjadi oto-kritik bagi kita sebagai bangsa, bahwa lemahnya literasi masyarakat dan rendahnya inklusi keuangan lembaga keuangan signifikan mempengaruhi perilaku keuangan masyarakat," tutupnya.(idr/han/deb/lum/jpg)